
Jember— Keabsahan surat tugas yang ditandatangani Plt Kadispendik untuk bisa mencairkan honor GTT melalui dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) disoal.
Surat tugas yang dibagikan beberapa waktu lalu di memang cukup banyak hal yang mengganjal untuk GTT. Seperti masa berlaku malah mulai 1 januari hingga 31 desember 2017 dan ditandatangani pada 4 Januari 2018.
Salah satu GTT menganggap saat diterima surat tugas itu habis masa berlakunya. “Masak bisa surat ini berlaku mundur. Kan ini sama saja tidak bisa digunakan,” ucap seorang guru.
Karena untuk tahun 2017 tentunya sejumlah lembaga sudah tutup buku akhir Desember 2017.
“Apa berani sekolah mengeluarkan honor BOS tahun 2017. Kan sudah pelaporan anggaran,” tuturnya. Sehingga inilah yang paling membuat sejumlah guru ini ragu dengan surat tugas tersebut.
Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Cabang Jember Supriyono mengakui, pihaknya banyak mendapatkan keluhan mengenai surat tugas ini. Ia mengapresiasi Bupati dan Pemkab Jember yang merespon keluhan GTT yang resah karena tidak ada surat tugas.
“Meskipun belum tuntas untuk pembuatan SK ini,” ucap Supriyono.
Pihaknya mengaku perlu memberikan pertimbangan dengan sejumlah catatan atas SK yang diberikan kepada sekitar 3 ribuan GTT itu. “Perlu banyak perbaikan terhadap SK itu. Utamanya dari sisi tata naskahnya belum sesuai aturan,” jelasnya. Dimana seharusnya sesuai dengan naskah peraturan perundang-undangan yang ada. Mulai dari konsideran dan sebagainya, namun yang diberikan hanya selembar kertas saja.
“Dari sisi masa berlaku juga tidak logis. Karena suratnya dikeluarkan tahun 2018, tetapi masa berlakunya 2017,” tuturnya.
Dengan kata lain, surat ini tidak masuk logika untuk diberlakukan di sekolah. Pihaknya pun berharap kepada Pemkab Jember untuk memperbaiki surat tugas kepada GTT ini sehingga bisa diberlakukan.
Selain itu, pihaknya juga menyoroti terkait dengan kewenangan Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pendidikan yang menandatangani surat tersebut.
“Rujukannya adalah Undang-undang nomer 30 tahun 2014 tentang administrasi pemerintahan,” jelasnya. Menurut Supriyono, Pejabat Plt seharusnya tidak boleh mengambil kebijakan strategis yang berdampak pada perubahan status kepegawaian dan terkait dengan keuangan.
“Seharusnya bupati langsung. Jika memang ditugaskan kepada bawahannya, harus ada atas nama bupati,” jelasnya. Hal ini jika memang berbicara tentang kepastian hukum. Pihaknya pun menganggap jika SK itu batal demi hukum. Oleh karena itu, pihaknya meminta kepada bupati untuk merevisi surat tersebut sehingga memberikan kepastian kepada GTT. (Ra/sal)