Home / OPINI / Farha Ciciek, Dari Egrang Untuk Perlindungan Anak Buruh Migran

Farha Ciciek, Dari Egrang Untuk Perlindungan Anak Buruh Migran

Oleh: Farida*

Egrang, Tanoker dan Ledokombo, tiga kata tidak terpisah. Egrang dari Tanoker membuat Ledokombo dan Jember mendapatkan penghargaan desa, kecamatan dan kabupaten layak anak. Tanoker dan Ledokombo juga dikenal di tingkat nasional dan internasional. Siapa yang menyangka permainan tradisional egrang menjadi wadah perlindungan terhadap anak-anak yang ditinggal orang tuanya menjadi buruh migran. Semua ini salah satunya berkat tangan dingin Farha Ciciek.

Farha Ciciek sebenarnya perempuan asli Ambon, namun banyak bergelut dengan banyak program kemanusiaan di ibukota Jakarta. Tetapi, tiba-tiba harus meninggalkan itu semua. Dia dan keluarga harus ‘pulang kampung’ mengikuti suaminya Supo Raharjo ke Ledokombo, Jember pada 2009 silam. “There’s no one coice (tidak ada pilihan). Harus pulang ke Ledokombo karena Mas Supo anak satu-satunya,” terang Farha Ciciek saat awal membuka percakapan sore itu.

Hal ini karena Bu Suwargi, mertuanya yang sudah lanjut usia hidup sendiri. Ciciek menceritakan permintaan itu sebenarnya sudah sejak lima tahun sebelumnya, namun tertunda karena kesibukannya dan suaminya. Ciciek saat itu mengajar di ISIP Universitas Nasional Jakarta dan menjadi Direktur Rahima, yayasan yang concern terhadap perlindungan perempuan. Sang suami juga menjadi direktur Lembaga Alam Tropika Indonesia (Latin) yakni lembaga yang memiliki perhatian terhadap perlindungan alam.

Hanya seminggu di Ledokombo, keduanya dibuat terhenyak dengan krisis sosial di depan mata. Yakni saat kedua anaknya Moksa dan Zero didatangi anak-anak sekitar rumah yang makin hari semakin banyak. Secara naluriah, Ciciek menanyakan orang tua mereka. “Saat ditanya, mereka mengatakan (orang tuanya) tidak ada. Hampir semua jawabannya sama,” terangnya. Dari sinilah, dia menyadari banyaknya children left behind atau anak-anak yang ditinggalkan orang tuanya karena menjadi buruh migran ke negeri seberang.

Banyak diantaranya perempuan yang tercerabut dari lahan produktif karena harus mencari uang ke luar negeri. Mereka menyadari di daerahnya berubah dari buruh tani ke buruh migran. “Saya merasa Gusti allah menjewer saya melalui anak-anak ini,” terang Farha. Dirinya yang selama ini juga banyak bergelut dengan persoalan buruh migran, sama sekali tidak memikirkan nasib anak-anak yang ditinggal orang tuanya menjadi buruh di luar negeri.
Padahal, banyak sekali yayasan dan lembaga termasuk pemerintah menitikberatkan masalah migrant hanya pada buruh. Baik dari masalah hukum, kekerasan, legalitas migran dari desa hingga global serta carut marut perbedaan budaya. “Sudah banyak pihak berjuang disana, di pekerja migrannya. Tidak pernah terpikirkan yang ditinggalkan buruh migran di rumah,” ucapnya. Tentu saja, dirinya dan suami yang sudah lama menjadi aktifis langsung tergerak hatinya untuk membantu anak-anak yang termarjinalkan ini. Ciciek menyebut anak buruh migran ini menjadi yatim piatu sosial karena memiliki orang tua tetapi tidak hidup dengan orang tua.

“Tergantung tak bertali, sebuah posisi yang buruk. Yatim piatu didukung kitab suci dan negara. Tetapi yatim piatu sosial tidak ada yang menganggap. Tidak sadar ada anak-anak seperti ini,” terangnya. Dia dan suami menetapkan hati untuk mulai membantu anak-anak ini. Langkah awal menyerap aspirasi dengan menanyakan keinginan anak-anak itu. Jawaban anak-anak hanya satu yakni ingin senang. Bagaimana agar senang, jawabannya bertemu orang tuanya. Namun, hal itu tentu tidak mungkin karena mereka tahu jika orang tuanya pergi untuk masa depan mereka.
Senang lainnya yakni bermain, karena selama ini mereka dituntut belajar dan belajar. Kemudian timbul membuat bermain yang konstruktif positif. “Moksa dan zero (anak farha) tanya ke ayahnya apa yang dimainkan waktu kecil. Saat itu Mas Supo mengatakan egrang. Tapi anak-anak di ledokombo tidak ada yang tahu,” tuturnya. Mereka pun membuatkan tiga pasang egrang, ternyata mendapatkan hal positif dari anak-anak Ledokombo. Lama kelamaan, yang berminat cukup banyak.

Pada desember 2009 dibuatlah lomba egrang. “Penontonnya banyak bahkan dari daerah lain. Bukan hanya anak-anak namun juga warga. Karena pada dasarnya manusia itu Homo ludens, spesies yang suka bermain,” terangnya. Jika di awal hadiah lomba diberikan warga secara spontanitas, lambat laun egrang di Ledokombo pun langsung dengan cepat meluas. Festival egrang diberikan wadah bernama Tanoker (bahasa madura) yang berarti kepompong.
Ciciek ingat nama itu dipilih sendiri oleh anak-anak Tanoker. Awalnya terinspirasi dari lagu sindentosca. “Tanoker tempat berproses merubah ulat menjadi kupu-kupu. Harapannya menjadi candradimuka kepompong bertransformasi yang ingin jadi kupu-kupu. Kami anak desa. Suatu saat ingin jadi indah juga berguna seperti kupu-kupu,” jelasnya. Kini, Tanoker dan festival egrang ini sudah memasuki tahun ke-11. Pencapaian dari hal kecil ini pun menjadi program pemberdayaan bagi masyarakat sekitar.

Dari egrang membuka dari pintu-pintu jendela dan cakrawala yang luas. Bahkan, bukan hanya lokal, namun berhasil mendatangkan tamu dari tingkat regional, nasional hingga internasional. Termasuk puncaknya festival egrang ke-VIII pada 2017 lalu dihadiri oleh duta besar berbagai negara sahabat dan juga Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohane Yembise yang hadir langsung ke Ledokombo. Bahkan, Yohane waktu itu memberikan penghargaan kepada Ledokombo dan Jember sebagai daerah Layak Anak.

Festival egrang memicu berbagai aspek lain tumbuh. Yang pertama tentu wadah anak Ledokombo bermain dan mengekspresikan diri. Lalu festival ini ternyata berhasil mendatangkan banyak tamu dari luar daerah. Para tamu ini tentu butuh makan dan tempat tinggal sementara sehingga menumbuhkan wirausaha sosial lokal kecil-kecilan. “Beberapa orang tua di Tanoker mulai bereksperimen dengan kerajinan. Ada Tanokraf, oleh-oleh khas Ledokombo juga kuliner unik, enak dan sehat,” terangnya. Berbagai kerajinan menjadi buah tangan favorit para pelancong yang datang ke Ledokombo. Untuk suguhan bagi tamu juga disediakan langsung oleh warga sekitar.

Selain itu, rumah-rumah warga sekitar mendadak menjadi homestay bagi para tamu dari luar daerah. Puncaknya, pada 2017 lalu, ada 300 rumah warga sekitar yang jadi homestay. Warga senang rumahnya ditempati karena tidak hanya semata menambah penghasilan, namun menambah saudara, silaturahmi dan pengalaman mengenal dunia orang luar. “Ada pride kebanggaan kami orang ndesit didatangi orang kota bahkan bule. Mereka mau nari dan makan dengan kita,” ucap Ciciek bercerita.

Belum lagi banyaknya cerita sukses pemberdayaan warga mantan buruh migran yang merasa ada ladang ekonomi baru dan tidak melanjutkan ke luar negeri. Maka, siapa yang menyangka dari permainan tradisional egrang dan anak-anak Ledokombo bisa melakukan perubahan yang demikian hebat. “Ternyata anak-anak menjadi change maker. Kita salah selama ini mengobjekkan anak-anak, malah mereka bisa merubah desanya yang menjadi kaki dunia. Mereka merubah dari history, menjadi herstory menjadi our story,” tuturnya.

Hal ini sesuai dengan mimpinya untuk mengawal perubahan sosial masyarakat. yakni menciptakan beautiful sunrise to beautiful sunset. Yakni menggambarkan mengantarkan manusia-manusia kecil dalam hal ini anak-anak dengan segala pemenuhan haknya menjadi orang yang berhak bahagia, sehingga memiliki harapan yang lebih cerah di masa depan serta diharapkan nantinya saat lansia dia tetap bahagia. (*)

*Wartawan Jemberpost

Bagikan Ke:

Check Also

Kopi Kayumas: Kualitas Internasional dari Kota Santri

Oleh: Wilda Maria Ulfa, Mahasiswi Politeknik Statistik STIS Jakarta Tak kenal malam ataupun pagi, secangkir …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *