BERITA UTAMA

Jaga Momentum Pertumbuhan, BI Jember Dorong Ekonomi Halal

By adminsal

July 25, 2019

OUTLET donat di Jalan Letjen Suprapto, Kebonsari, Jember, itu tidak terlalu besar. Ciri khas produk yang dijual di toko itu adalah donat dengan model karakter tokoh kartun atau karakter sesuai pesanan pelanggan. Sekarang tokonya masih kecil. Tapi, si empunya usaha menargetkan tahun depan bisa menambah dua outlet baru.

Arif Wicaksono, pemilik usaha donat karakter itu, sebenarnya ingin memperkuat citra produknya dengan sertifikasi halal. Sehingga, di kemasan donatnya nanti bisa berlabel halal. Namun, yang saya tahu biaya sertifikasi halal cukup mahal, ujarnya.

Sebagai pengusaha kuliner, kehalalan produk keniscayaan. Tetapi, sebagai pengusaha skala mikro, Arif memilih untuk terus memutar roda bisnis daripada memikirkan sertifikasi halal karena biayanya yang relatif mahal. Soal label halal, apa kata nanti.

Walau dia tahu, sejatinya mulai tahun ini pemerintah telah memberlakukan UU No 34 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Kalau pemerintah mau memberlakukan keharusan label halal, seharusnya memberikan bantaun dan pendampingan kepada UMKM. Malah, kalau bisa jangan hanya sertifikasi halal, tapi dampingi bagaimana membuat produk bermutu, manajemen, pasar, sampai kemasannya, harap pria kelahiran Surabaya ini.

Besarnya minat masyarakat terhadap produk halal juga dirasakan Dewi Nur Hamidah. Sejak beberapa tahun lalu dia merintis usaha pemasaran produk toiletries halal, seperti pasta gigi, sabun mandi, deterjen, dll, di Jember. Termasuk, makanan suplemen herbal.

Dari yang awalnya berstatus reseller, kini Dewi telah menjadi stockiest untuk area Jember. Kini ibu dua orang anak itu telah memiliki puluhan jaringan reseller di Jember dan sekitarnya. Yang awalnya bermodal etalase di rumah, kini perempuan asal Trenggalek itu telah memiliki sebuah outlet.

Gerakan muslim hijrah, menurut Dewi, dampaknya cukup terasa di sektor ekonomi. Permintaan terhadap produk toiletries dan makanan suplemen halal cukup tinggi, akunya.

Literasi masyarakat terhadap produk halal belakangan terus berkembang. Deputi Kepala Perwakilan Bank Indonesia (BI) Jember Lukman Hakim mengakui, kesadaran masyarakat terhadap pentingnya produk halal semakin meningkat. Hal itu tidak lepas dari akses informasi dan edukasi masyarakat yang semakin baik.

Di Eks Karesidenan Besuki dan Lumajang (Sekarkijang) yang menjadi wilayah kerja BI Jember, potensi ekonomi halal sangat besar. Karena kawasan Sekarkijang ini daerah dengan basis muslim sangat besar di Jawa Timur. Pondok pesantrennya, ulama, kiai, dan santri sangat banyak. Masyarakat di wilayah kerja BI Jember ini relatif religius, terang Lukman.

Kawasan Sekarkijang meliputi Kabupaten Jember, Bondowoso, Situbondo, Banyuwangi, dan Lumajang. Kultur muslim dan santri di daerah-daerah tersebut sangat kuat. Karena itu, sambung Lukman, BI menaruh perhatian besar dalam pengembangan ekonomi halal.

Sebagai transmisi kebijakan moneter, BI Jember mendorong sektor ekonomi halal di Sekarkijang semakin berkembang. Selain faktor-faktor lain, kami ingin pertumbuhan ekonomi kabupaten-kabupaten di Sekarkijang ini terus meningkat seiring dengan berkembangnya ekonomi halal, harapnya.

Di tingkat pusat, BI dan IHLC (Indonesia Halal Lifestyle Center) telah membangun kesepakatan penguatan industri halal di Indonesia. Dokumen kerjasama ditandatangani Kepala Departemen Ekonomi dan Keuangan Syariah BI Suhaedi dan Chairman of Indonesia Halal Value Chain (IHLC) Sapta Nirwandar, dengan disaksikan Deputi Gubernur Bank Indonesia Dody Budi Waluyo, 28 Juni lalu, di Jakarta.

Lima area kerjasama dalam rangka penguatan industri halal itu, meliputi penguatan dan pengembangan kapasitas pelaku industri halal di Indonesia. Lalu, penyediaan dan perluasan pasar bagi pelaku usaha industri halal di Indonesia, baik dalam maupun luar negeri.

Kemudian, pelaksanaan identifikasi dan fasilitasi dukungan penguatan sumber pembiayaan bagi para pelaku usaha industri halal di Indonesia. Berikutnya adalah penguatan kelembagaan atau asosiasi pelaku usaha industri halal di Indonesia, serta pemetaan dan identifikasi para pelaku usaha industri halal di Indonesia serta pasar atau outlet baru.

Tidak hanya makanan dan minuman (mamin) halal, Lukman berharap, kegiatan ekonomi halal lain turut berkembang. Seperti, pariwisata halal; fesyen muslim; media dan rekreasi halal; farmasi dan kosmetika halal; serta energi terbarukan. Kami bersyukur di Sekarkijang ada pemerintah daerah yang mulai mengembangkan pariwisata halal, katanya.

Sejak 2017 Kabupaten Banyuwangi memiliki pantai syariah. Namanya Pantai Santen, yang berlokasi di Karangrejo. Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas menegaskan, pengembangan pariwisata halal bertujuan memperbesar segmentasi. Bukan hanya menjangkau wisatawan domestik, pariwisata halal di Banyuwangi juga membidik wisatawan mancanegara, khususnya Timur Tengah, yang dikenal gila belanja.

Riset Kementerian Pariwisata menyebutkan, wisatawan Timur Tengah rata-rata membelanjakan uangnya hingga USD 1.918 atau Rp 28 juta. Jauh melampaui wisatawan Eropa yang hanya USD 1.538 atau Rp 23 juta. Selain itu, lama kunjungan wisatawan Timur Tengah bisa mencapai 10,14 hari.

Peluang dan Tantangan Ekonomi Halal

Menurut Lukman, ekonomi halal yang sangat potensial berkembang besar adalah sektor mamin. Di Sekarkijang, jumlah produsen mamin lokal sangat banyak dan punya ciri khas sesuai daerah masing-masing. Ada kopi dan tape di Bondowoso, suwar-suwir dan prol tape di Jember, kripik pisang agung di Lumajang, dan sebagainya.

Karena itu, BI Jember tahun lalu telah menggelar sosialisasi mengenai sertifikasi halal untuk produk pangan. Bukan hanya sosialisasi, BI Jember juga memfasilitasi 10 UMKM yang lolos seleksi untuk didampingi sampai mendapatkan sertifikat halal dari Lembaga Pengkajian Pangan Obat-Obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM-MUI). Tahun ini akan kami adakan lagi. Karena program ini memang ditunggu pelaku usaha mikro dan kecil, ungkap Lukman.

Dengan memiliki sertifikasi halal, lanjut dia, produk UMKM lebih mudah diterima konsumen. Pasar modern pun bisa ikut memasarkannya. Lebih dari itu, dengan sertifikasi halal, produk tersebut berpelung besar untuk bisa diekspor. Karena sertifikat halal Indonesia sudah diakui oleh banyak negara, terangnya.

Agusta Jaka Purwana, ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Jember, mengakui bahwa potensi ekonomi halal di Sekarkijang sangat besar. Dengan masyarakat muslim yang sangat besar, dia yakin produk halal apa pun cepat terserap.

Dia mengungkapkan, para pelaku UMKM produk halal juga membaca peluang itu. Saya yakin sudah banyak produk halal yang dihasilkan pengusaha dan UMKM. Mereka pasti siap menciptakan produk halal, tegasnya.

Namun, tantangan yang dihadapi UMKM adalah proses dan biaya sertifikasi halal. Sertifikat halal adalah dalil legal untuk menjamin sebuah produk halal dikonsumsi. Meski demikian, Agusta berharap ada relaksasi regulasi dalam pengajuan sertifikasi halal.

Bukan semata biaya. Dia mendapat pengaduan dari anggotanya mengenai ketidakkonsistenan syarat pengajuan sertifikasi. Untuk mengurus sertifikasi halal, ada ketentuan omzetnya minimal Rp 30 juta per tahun, ungkapnya.

Ketentuan itu, menurut Jaka, tercantum dalam formulir pengajuan sertifikasi halal. Sedangkan pada form registrasi online, ketentuan omzet minimal Rp 300 juta per tahun. Lantas yang benar yang mana? Berapa pun syarat omzet, jika sebesar itu tentu memberatkan pelaku usaha mikro dan kecil, cetus eksporter tembakau ini.

Inisiasi Pemerintah Daerah

Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo mengatakan, BI berkomitmen tegas untuk mendorong perkembangan ekonomi dan keuangan syariah. Tujuannya adalah menjaga momentum pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan. Ekosistem industri halal yang mendorong tumbuh kembang industri halal merupakan pekerjaan rumah bersama antara pemerintah, BI, pelaku usaha, perbankan, dan otoritas terkait, katanya, sebagaimana rilis di website www.bi.go.id.

Khairunnisa Musari, dosen ekonomi Islam Pascasarjana IAIN Jember sepakat, ekonomi halal bisa menjadi pengungkit pertumbuhan ekonomi nasional dan daerah. Implementasi jaminan produk halal berpeluang meningkatkan ekspor produk halal domestik. Ekspor produk halal terbukti membantu Indonesia menekan tingkat defisit transaksi berjalan.

Dalam empat tahun terakhir, ekspor produk halal menunjukkan tren positif. Pada 2017, ekspor produk halal menyumbang 21 persen dari total ekspor Indonesia. Meningkatnya perdagangan global untuk produk halal mengindikasikan besarnya potensi pasar ekspor halal bagi produk-produk Indonesia, termasuk produk UMKM, ujarnya.

Sayang, hingga kini gaung UU Jaminan Produk Halal tidak begitu terdengar di daerah. Padahal, jika sampai batas waktu mandatory sertifikasi ini dilanggar, UU menyatakan adanya sanksi, baik denda maupun pidana. Meski pelaksanaan sertifikasi halal kabarnya juga akan diterapkan bertahap, dunia usaha realitasnya masih belum siap.

Khairunnisa mengakui, masalah dalam sertifikasi halal adalah pembiayaan. Mengutip data Kementerian Koperasi dan UKM, jumlah UMKM pada 2017 sebanyak 62,9 juta unit usaha dengan 62,1 juta berasal dari usaha mikro. Diperkirakan, jumlah UMKM yang tersertifikasi halal baru sekitar 160 ribuan.

Dengan asumsi sebagaimana disampaikan BPJPH bahwa biaya sertifikasi halal untuk UMKM adalah 10 persen dari biaya normal yang berkisar Rp 1 juta hingga Rp 1,5 juta, maka dapat dihitung seberapa besar dana yang dibutuhkan untuk membiayai sertifikasi halal UMKM. UU memang mengamanatkan kepada pemerintah untuk memberi insentif dalam proses sertifikasi ini.

Tetapi, lanjut Khairunnisa, bila sepenuhnya ditanggung pemerintah akan menjadi beban fiscal tersendiri. Jika dilepas ke pelaku usaha, pasti juga memberatkan, terutama yang skala mikro dan kecil, katanya.

Secara nasional, menurut dia, kehadiran Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS) menjadi harapan untuk membantu Badan Pelaksanan Jaminan Produk Halal (BPJPH) menjalankan amanat UU Jaminan Produk Halal. KNKS memiliki kapasitas untuk mendorong keterlibatan sektor swasta dan bahkan mengarahkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk mendukung pelaksanaan UU Jaminan Produk Halal, termasuk dalam hal pembiayaan.

Pada tingkat lebih bawah, sambung Khairunnisa, pemerintah daerah harus mengambil peran untuk menginisiasi pelaksanaan UU Jaminan Produk Halal. Pemerintah daerah tidak boleh hanya menunggu kehadiran KNKS atau BPJPH untuk memberikan sosialisasi dan solusi, harap perempuan yang juga Sekretaris II Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI) Jatim ini.

Dia menyebutkan, ada beberapa inisiasi yang dapat dilakukan pemerintah daerah. Pemerintah daerah bisa menginisiasi kerjasama MUI dan BPJPH untuk mengakreditasi perguruan tinggi atau sektor swasta yang siap menjadi LPH atau auditor halal, ungkapnya.

Selanjutnya, pemerintah daerah bisa menginisiasi kerjasama dengan perguruan tinggi, utamanya yang memiliki program studi ekonomi syariah, dan jaringan asosiasi yang bergerak pada bidang ekonomi syariah, baik secara keilmuan maupun sosial kemasyarakatan, untuk mengedukasi standar sertifikasi halal pada publik, utamanya pada pelaku UMKM. Dan inisiasi ketiga, pemerintah daerah bisa menjaring sektor swasta, lembaga keuangan syariah, badan usaha milik daerah (BUMD) atau pihak ketiga untuk mengembangkan skema pembiayaan bagi pelaku UMKM, paparnya.

Lukman menambahkan, ke depan BI Jember akan terus menjalin kolaborasi dengan berbagai pihak untuk mendorong pengembangan ekonomi halal di Sekarkijang. Dia sangat berharap, gairah ekonomi halal ini bisa mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan di daerah. Bila pertumbuhan ekonomi bagus, diharapkan daya beli masyarakat meningkat. (wan)