EKONOMI

Menaikkan “Derajat” Singkong dengan Ilmu Pengetahuan

By adminsal

November 05, 2017

Oleh: Hari Setiawan *

BERTAMBAHNYA jumlah penduduk ibarat pisau bermata dua. Bila bisa dikelola dengan baik, besarnya jumlah penduduk bisa mendorong kemajuan sebuah bangsa. Tetapi, bila gagal mengelola, akan menimbulkan persoalan yang cukup pelik.

Salah satunya adalah persoalan pangan. Bertambahnya jumlah penduduk menuntut pemerintah untuk bisa memenuhi kebutuhan pangan, khususnya bahan pangan pokok. Karena itu, ketersediaan beras sebagai bahan pangan pokok di Indonesia menjadi kewajiban yang mesti dipenuhi pemerintah.

Data Kementerian Pertanian (Kementan), produksi beras nasional 2016 mencapai 79,2 juta ton. Demi mengamankan cadangan beras nasional, pemerintah masih harus mengimpor beras rerata 3 juta ton per tahun. Sedangkan konsumsi beras nasional mencapai 150 kilogram per kapita per tahun. Tingkat konsumsi beras Indonesia ini tergolong cukup tinggi di dunia.

Karena itu, kebijakan pangan pemerintah saat ini fokus pada dua komoditas pangan dengan tingkat konsumsi yang tinggi. Yakni, padi, jagung, dan kedelai (pajale). Arah kebijakan pangan pemerintah ini bukan tanpa persoalan. Sebab, lahan yang bisa dimaksimalkan untuk pajale di Indonesia justru hanya 40 persen dari total luas lahan pertanian yang ada.

Untuk meningkatkan produksi pajale, dibutuhkan lahan dengan irigasi yang mencukupi sepanjang tahun. Konsekuensinya, pemerintah harus mengalokasikan anggaran cukup besar untuk membangun dan meningkatkan infrastruktur irigasi, baik berwujud waduk, embung, dan saluran irigasi.

Padahal, masih ada 60 persen lahan lain yang tidak bisa ditanami pajale karena kurang cocok dengan karakteristik tanaman pajale. Misalnya, lahan gambut. Bukan hanya itu, sejatinya Indonesia memiliki kekayaan bahan pangan pokok yang beragam. Salah satunya adalah singkong.

Singkong yang Terabaikan

Potensi singkong di Indonesia sangat besar. Hampir semua daerah cocok ditanami singkong. Sebab, tanaman ini memiliki karakteristik yang tidak membutuhkan terlalu banyak air. Dengan ketahanan yang baik, singkong bisa ditanami di berbagai jenis lahan marjinal.

Guru besar Universitas Jember Prof Achmad Subagio, PhD menyebutkan, produksi nasional singkong di Indonesia mencapai 24 juta ton per tahun dengan nilai perdagangan mencapai Rp 24 triliun. Komoditas yang selama ini dicap sebagai inferior food ternyata memiliki nilai perdagangan yang tinggi.

Ketergantungan masyarakat Indonesia terhadap beberapa bahan pangan membuat Subagio tergerak untuk meriset singkong agar memiliki nilai lebih. Akhirnya, Subagio berhasil menciptakan mocaf (modified cassava flour) atau tepung singkong yang dimodifikasi. Dengan serangkaian proses rekayasa kimiawi, sebagian sifat singkong bisa dihilangkan dan memungkinkan ditambah beberapa zat gizi. Sehingga, mocaf bisa menjadi bahan substitusi tepung terigu.

Agar kualitas mocaf semakin baik, pada titik inilah dibutuhkan intervensi ilmu pengetahuan dari para peneliti. Termasuk, dari para peneliti yang bernaung di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

Terkait pengembangan singkong sebagai bahan baku mocaf, misalnya, Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI pernah menyelenggarakan pelatihan pembuatan tepung mocaf. Pelatihan ini merupakan salah satu rangkaian acara open house Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI yang merupakan bagian dari agenda Bioresources Science Week Fair 2017.

Selain itu, bersama Eidgenössische Technische Hochschule (ETH) Zürich, Swiss, LIPI melakukan penelitian berjudul Investigation of Natural Tolerance to Post harvest Physiological Deterioration (PPD) and Development of Methods to Prolong Shelf-Life of Cassava Storage Roots. Riset ini diharapkan bisa menemukan solusi guna menghambat pembusukan PPD pada singkong pascapanen.

Dalam meningkatkan kualitas mocaf, LIPI juga pernah melakukan penelitian yang bertujuan untuk mencegah hilangnya kandungan beta karoten selama proses pembuatan tepung. Dengan penelitian ini, diharapkan kandungan yang dikoversi oleh tubuh sebagai vitamin A itu tidak hilang selama proses pengolahan singkong menjadi tepung.

Kontribusi Pengetahun dalam Pengembangan Singkong

Untuk memperkuat ketahanan pangan, sangat diperlukan inovasi untuk memperkaya sumber bahan pangan. Tidak hanya melakukan inovasi bahan pangan baru, tetapi setiap inovasi itu harus terus ditingkatkan kualitasnya. Untuk itulah, dibutuhkan kontribusi para pakar, lembaga penelitian, dan perguruan tinggi.

Sebagai lembaga pengetahuan, LIPI secara moril memiliki tanggung jawab untuk ikut mendorong dan meningkatkan kualitas setiap inovasi di sektor pangan. Jangan sampai inovasi anak bangsa malah dimanfaatkan oleh negara lain. Padahal, ketersediaan pangan merupakan salah satu pilar ketahanan nasional.

Lebih khusus lagi, LIPI harus mendorong kemajuan inovasi di bidang pangan yang selama ini diidentikkan dengan ekonomi wong alit (orang kecil). Di titik inilah para peneliti dan pakar punya kewajiban untuk mengangkat derajat ekonomi singkong. Diseminasi hasil penelitian singkong harus dinikmati pula oleh para petani singkong agar terjadi transfer pengetahuan dan teknologi. Sehingga, bisa menyejahterakan masyarakat, khususnya yang tinggal di pedesaan.

Tidak cukup itu, LIPI bersama pihak-pihak terkait harus ikut menciptakan pasar baru bagi singkong. Bila pasar semakin besar, maka LIPI bersama lembaga riset yang lain harus mengembangkan singkong secara komersial. Secara tidak langsung, nilai ekonomi singkong akan terangkat. Dengan berbagai inovasi dan sentuhan teknologi modern, singkong bukan lagi milik dan untuk wong alit, melainkan layak menjadi bahan pangan untuk kaum elite. (*)

* Penulis adalah Direktur Konten Indonesia