Oleh: Hari Setiawan *
BEKERJA di luar negeri sebagian besar bukan karena pilihan utama para pekerja migran Indonesia. Mereka terpaksa merantau ke luar negeri demi memperbaiki kondisi ekonomi keluarga. Menjadi perantau di negeri orang menjadi harapan baru bagi keluarga pekerja migran Indonesia.
Jumlah pekerja migran Indonesia diperkirakan mencapai 3,52 juta orang pada kuartal II 2018. Jumlah ini naik dari kuartal I 2018 yang hanya mencapai 3,51 juta orang. Dua kawasan terbesar yang menjadi lokasi penempatan pekerja migran Indonesia adalah ASEAN sejumlah 1,98 juta orang dan Timur Tengah 1,07 juta orang.
Bagi pemerintah Indonesia, para pekerja migran itu juga menjadi pahlawan devisa. Defisit neraca berjalan (current account deficit/CAD) Indonesia pada kuartal II 2018 menembus level 3 persen dari PDB. Tepatnya di level 3,04 persen. Kondisi ini yang terburuk sejak kuartal III 2014 silam.
Defisit neraca berjalan di kuartal II 2018 mencapai USD 8,03 miliar. Padahal, di kuartal I 2018 masih USD 5,72 miliar. Akibatnya, defisit Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) semakin lebar. Sepanjang kuartal II 2018, Bank Indonesia (BI) mencatat defisit NPI sebesar USD 4,31 miliar. Jumlah tersebut membengkak dari defisit kuartal I 2018 sebesar USD 3,86 miliar.
Ternyata, yang menjadi penyelamat defisit NPI adalah para pekerja migran. Komponen pendapatan sekunder dalam neraca berjalan disumbang dari derasnya kiriman uang pekerja migran (remitansi) pada kuartal II 2018 senilai USD 2,81 miliar. Lebih tinggi dari kuartal I 2018 sebesar USD 2,64 miliar. Sejak kuartal I 2016, nilai remitansi ini adalah yang terbesar.
Sampai kuartal II 2018, kiriman uang para pekerja migran Indonesia yang mengalir ke dalam negeri mencapai USD 2,8 miliar. Jumlah tersebut lebih tinggi dari kuartal I 2018 yang hanya USD 2,6 miliar. Yang terbanyak, uang itu berasal dari kawasan Timur Tengah dengan nilai USD 1,1 miliar. Disusul berikutnya dari kawasan ASEAN senilai USD 984 juta.
Bagi keluarga, para pekerja migran itu memang menjadi pahlawan. Taraf hidup keluarga meningkat. Kondisi rumah lebih layak. Kualitas gizi dan kesehatan keluarga membaik. Anak-anak tetap bisa sekolah.
Ironi Pekerja Migran
Para pekerja migran Indonesia memang menjadi pahlawan ekonomi bagi keluarga dan negara. Tetapi, nasib mereka kerap mengiris hati. Baik karena hak-hak yang tidak dipenuhi, seperti gaji, korban pungli, dll; penyiksaan fisik; pemerkosaan; sampai harus menerima hukuman mati karena mempertahankan hak dan harga dirinya.
Kerentanan yang dihadapi pekerja migran Indonesia, terutama perempuan, tak otomatis berhenti ketika setahun yang lalu pemerintah mengesahkan UU No 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia. Akses keadilan masih jauh didapatkan oleh kaum buruh migran Indonesia. Misalnya, vonis bebas bagi pemilik PPTKIS yang memperbudak ratusan perempuan Indonesia di industri pengolahan sarang burung walet MAXIM Malaysia. Ini memperlihatkan bahwa jalur peradilan bagi pekerja migran masih jauh dari adil.
Eksekusi mati terhadap Zaini Misrin dan Tuti Tursilawati di Arab Saudi juga masih membuktikan lemahnya perlindungan yang diberikan pemerintah. Kematian tragis yang dialami Adelina Sau, PRT migran Indonesia asal Timor Tengah Selatan, NTT, setelah dianiaya majikannya di Malaysia, membuka tabir derita panjang perempuan-perempuan muda NTT. Mereka adalah korban perdagangan manusia akibat proses perekrutan ugal-ugalan, korupsi di birokrasi, dan mafia peradilan yang menyempurnakan imunitas pelaku kejahatan perdagangan manusia di NTT.
Angin segar sempat berhembus setelah disahkannya UU No 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia. Tetapi, gerak pemerintah sangat lambat untuk menerbitkan aturan turunannya. Dari puluhan aturan yang harus dibuat dalam kurun waktu dua tahun sejak diundangkan (rinciannya: 11 Peraturan Pemerintah (PP), 2 Peraturan Presiden (Perpres), 12 Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker), dan 3 Peraturan Kepala Badan), baru satu Permenaker yang dihasilkan. Yaitu, Permenaker No 18 Tahun 2018 tentang Jaminan Sosial Pekerja Migran Indonesia.
Dalam pasal 3 ayat 1 Permenaker No 18 Tahun 2018, calon pekerja migran dan pekerja migran Indonesia diwajibkan mengikuti program jaminan sosial yang diselenggarakan oleh Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan. Perlindungan sosial yang diberikan berupa jaminan kecelakaan kerja (JKK) dan jaminan kematian (JKM). Ada pun ayat 2 menyebutkan, calon pekerja migran atau pekerja migran dapat mengikuti program jaminan hari tua (JHT).
Menelisik manfaat masing-masing program perlindungan sosial itu, secara detail diatur mulai pasal 15 sampai 23 dari Permenaker No 18 Tahun 2018. Untuk manfaat JKK saat sebelum dan setelah bekerja diatur di pasal 15 dan 16. Perlindungan selama bekerja diatur di pasal 17. Detail manfaat JKM diatur dalam pasal 19 sampai 22. Lalu, detail manfaat JHT dijelaskan di pasal 23.
Secara umum, Permanker No 18 Tahun 2018 ini telah memberikan perlindungan sosial yang komprehensif. Misalnya, di dalam JKK ada perlindungan untuk pekerja migran yang menjadi korban kekerasan fisik dan seksual. Pekerja migran yang cacat permanen karena kecelakaan kerja tidak hanya mendapat santunan uang, tetapi juga mendapat pendampingan dan pelatihan vokasional. Dua anaknya yang masih sekolah pun mendapat beasiswa.
Hal yang hampir sama juga terdapat di program JKM. Bila meninggal saat sebelum atau setelah bekerja, ahli waris tidak hanya mendapat santunan uang, tetapi juga mendapat santunan biaya pemakaman dan santunan berkala. Sedangkan yang meninggal selama bekerja, ahli waris mendapatkan santunan kematian, santunan berkala, biaya pemakaman, dan beasiswa atau pelatihan kerja bagi dua orang anak sesuai jenjang pendidikannya.
Penegakan Hukum dan Pelayanan
Secara normatif, Permenaker No 18 Tahun 2018 telah cukup ideal memberikan proteksi atas risiko-risiko sosial yang dihadapi para calon pekerja migran dan pekerja migran Indonesia. Baik sebelum, selama, dan setelah bekerja. Manfaat yang didapat tidak hanya untuk sang pekerja migran, tapi sebagiannya juga didapatkan oleh keluarga atau ahli warisnya.
Tujuan akhir dari Permenaker No 18 Tahun 2018 ini tentunya memberikan perlindungan sosial dan menyejahterakan pekerja migran Indonesia. Agar tujuan besar tersebut tercapai, ada beberapa catatan yang harus menjadi perhatian pemerintah.
Pertama, penegakan hukum. Wajibnya perlindungan sosial untuk calon pekerja migran dan pekerja migran ini tidak diikuti dengan sanksi, baik administratif maupun pidana. Di UU No 18 Tahun 2017 maupun Permenaker No 18 Tahun 2018 tidak disebutkan mengenai sanksi jika ada calon pekerja migran atau pekerja migran Indonesia yang tidak mendaftar sebagai peserta. Regulasi yang tidak diikuti dengan ketentuan sanksi administratif maupun pidana sulit mengikat dalam pelaksanaan di lapangan. Selayaknya, regulasi ini diikuti dengan adanya sanksi bagi setiap pelanggaran.
Kedua, jejaring pelayanan. Lembaga yang mendapat mandat untuk melaksanakan perlindungan sosial bagi pekerja migran Indonesia adalah BPJS Tk. Sebagai BUMN, BPJS Tk harus mulai memperluas jejaring pelayanannya, terutama di daerah-daerah “kantong” pekerja migran Indonesia. Setelah melakukan pemetaan daerah “kantong”, jejaring pelayanan bisa dibuat oleh BPJS Tk. Tidak harus mendirikan kantor, tetapi bisa menjalin kerjasama dengan BUMN yang memiliki jejaring kantor yang luas. Misalnya, bekerjasama dengan PT Pos Indonesia.
Ketiga, kualitas pelayanan. Sebagai satu-satunya vendor perlindungan sosial bagi pekerja migran Indonesia, BPJS Tk harus memiliki standar pelayanan yang prima. Terutama, responsif dengan apa yang dihadapi pekerja migran atau keluarganya. Saat mereka kecelakaan, sakit, atau meninggal dunia, pihak keluarga pasti ingin mendapat pelayanan cepat. Utamanya, keberadaan help desk yang bisa mereka hubungi secara cepat untuk memandu menyelesaikan masalah yang tengah mereka hadapi.
Keempat, jaminan kecepatan realisasi klaim. Para pekerja migran yang menjadi peserta perlindungan sosial tentu sudah menunaikan kewajibannya membayar iuran. Maka, selayaknya mereka mendapat jaminan kecepatan realisasi klaim atau santunan. Terutama, peserta yang mengalami musibah, baik kecelakaan kerja, sakit, maupun meninggal dunia.
Bila keempat catatan ini bisa diatensi, sama halnya pemerintah dan BPJS Tk telah merawat asa para pahlawan devisa ini. (*)
* Penulis adalah wartawan www.jemberpost.net